Wednesday, 13 May 2009

Info Kegiatan SEAMOLEC di Filiphina

From: Mangasa Aritonang
Date: Wed, 13 May 2009 17:06:07 +0800
To:
Subject: Info School Partnership dari Davao City, Philippines
Pak Gatot yth.,
Dari Davao City, Philippines, kami laporkan informasi sebagai berikut:
Jumlah rombongan yang berangkat adalah 24 orang, dengan diawali pre-departure training di SEAMOLEC pada hari Minggu tanggal 10 Mei 2009.
Rombongan tiba di Davao City pada hari Senin, 11 Mei 209 jam 12.15, dan dijemput oleh team dari KJRI Davao City, langsung courtesy call ke Bapak Lalu, Konjen RI di Davao City, dan kemudian dibawa ke House of Indonesia tempat kami tinggal.
Hari Selasa, 12 Mei 2009, workshop kepala sekolah Indonesia dengan Kepala sekolah Philipines di sekitar Mindanao, bertempat di House of Indonesia. Workshop ini dibuka oleh Bapak Konjen, dan dihadiri oleh Regional Director of DepEd dan TESDA. Presentasi saya awali dengan perkenalan profile SEAMOLEC serta program kemitraan, dilanjutkan oleh Andri dengan presentasi SEA EduNet. Kemudian Sekolah Indonesia presentasi profil sekolah, begitu juga sekolah Philippines.
Hari Rabu, 13 Mei, kami mencocokkan kemitraan, dan membahas draft MoU. Akan dilanjutkan besok Kamis dengan tanda tangan MoU.
Pada saat saya presentasi program SEAMOLEC, ada beberapa hal yang menarik:
1. KJRI Davao City dan Sekolah Indonesia Davao berminat untuk gabung dan dipasangkan fasilitas SEA EduNet, dan ini agar segera kita tindak lanjuti. Satu hal yang kami banggakan adalah KJRI mendukung penuh programkemitraan ini, bukan hanya fasilitas akomodasi dan konsumsi,tetapi juga program yang kita laksanakan. Bapak Konjen juga tetap hadir dan mendorong memberi semangat kepada pihak Philippina untuk mau bermitra dengan Indonesia.
2. Banyak orang Philippines yang tertarik untuk mengikuti training Mobile Game Technology dan juga training Web-Based Course Development, sebagai tindak lanjut dari kemitraan ini.
3. Sepertinya banyak Polytechnic yang berminat jadi mitra SEAMOLEC, dan mau dipasangkan fasilitas SEA EduNet.
4. Ada permintaan dari Polytecnic disini agar mahasiswanya jurusan TI magang di SEAMOLEC.
5. Ada juga Polytech yang minta dimitrakan dengan Polytech di Bali untuk program Hospitality. Mungkin Poli Bali tepat untuk mereka.
6. Ada juga yang minta dicarikan mitra di daerah Manado dan Gorontalo untuk Hospitality, karena jarak yang dekat.
Demikian info sementara dari Davao City. Mudah-mudahan besok banyak yang tanda tangan MoU, dan segera ditindaklanjuti dengan training untuk persiapan collaborative e-learning.
Salam,
M. Aritonang

Saturday, 9 May 2009

Hasil Belajar di Australia

Dari : Dhitta Puti Sarasvati


http://www.1000guru .net/htmls/ articles/ 1KG-QuoVadisPend Ind.html

Artikel berjudul “What I've learned from Australia” tulisan Sdri. Zubeth sangat menarik untuk dibaca. Saya dapat menggambarkan artikel tersebut (dengan kata-kata saya sendiri) sebagai motivated-critical. Kenapa dikatakan motivated, karena tujuan utama dari artikel ini secara global (mudah2an saya gak salah mengerti) adalah mengajak dan mengajukan suatu alternatif untuk perubahan terhadap pola pendidikan Indonesia melalui pemaparan sebuah konsep pendidikan dan pengajaran ala barat yang penulis pelajari di negeri nun jauh disana yang bernama Australia. Jadi dengan demikian sangat positif dan motivated.

Selanjutnya kenapa artikel itu saya kategorikan critical, karena alasannya menurut saya sebagai berikut:

Sistem pendidikan dalam sebuah negara itu merupakan satu subsistem yang eksistensi dan keberlangsungannya sangat ditopang atau tergantung dari sub sistem lain di masyarakat yang tidak kalah pentingnya, yaitu subsistem politik dan subsistem ekonomi (Fend, 1999). Ketiga subsistem tersebut membentuk sebuah sistem segitiga yang setiap sudutnya menentukan eksistensi sudut yang lain.

Jadi kalau kita bicara masalah kualitas pendidikan suatu negara, sebaiknya kita menerapkan pola analisa yang multidimensional dengan memperhatikan berbagai faktor yang terdapat dalam ketiga subsistem tersebut. Dengan demikian apabila penulis hanya menjadikan filosofis pendidikan barat misalnya, sebagai hal yang mendasari keberhasilan konsep pendidikan barat sehingga output pendidikannya superior maka menurut saya itu patut dikritisi. Kenapa demikian? mari kita lihat fakta berikut:

Apabila dikotomi filosofi pendidikan Barat-Timur yang menjadi faktor penentu superioritas pendidikan barat dalam mencetak manusia cerdas dan pintar, justru hasil dari Programme for International Student Assessment (PISA-Study) 2003 dan 2006 menunjukan hal yang kurang sesuai. Berdasarkan studi tersebut, lulusan sekolah terbaik di dunia itu justru berada di benua timur, yaitu Korea Selatan. Dengan skor rata-rata 550, anak sekolah di Korea ini berhasil mengungguli Finlandia (dengan skor rata-rata 548) yang merupakan negara terunggul sistem pendidikannya diantara negara-negara Eropa atau barat. Demikian pula dengan Jepang; berdasarkan hasil studi ini, negri sakura ini yang juga di wilayah bagian timur juga berhasil mengungguli Australia sekali pun dalam masalah mencetak manusia berkualitas.

Bukti lain adalah kemajuan negara lain di asia seperti Cina, dan negara tetanggga kita Malaysia. Konsep pendidikan di negara2 tersebut dalam waktu singkat berhasil meningkat secara melejit. Dengan SDM dan SDA yang ada Cina dalam tempo yang super cepat mampu merajai perekonomian dunia. Untuk mencapai hal tersebut tentu saja sistem pendidikan Cina dengan konsep pendidikan mereka yang berfilosofiskan ketimuran banyak berperan.
Bukti lain lagi, kalau kita mau romantisme historis, pendidikan di negara kita pada dekade 60 -80an. Pada masa tersebut pendidikan kita pernah sedemikian baiknya dalam mencetak manusia-manusia pintar, sehingga pada waktu tersebut banyak negara tetangga yang mengirimkan mahasiswanya untuk menimba ilmu di negara kita tercinta ini. Contoh lainnya lagi adalah Rusia; dengan segala konsep pendidikanya yang serba sentralistik dan serba diatur oleh sistem pemerintahan komunis yang tentunya anti dari nilai2 pendidikan demokratis ala barat, ternyata negara tersebut berhasil menjadikan negaranya sebagai negara adidaya tandingan USA sampai sekarang. Kepala-kepala jenius pun telah banyak dilahirkan di negara tersebut.
So, berdasarkan fakta2 tersebut, dikotomi Barat-Timur dalam hal konsep dan filosofi pendidikan perlu dianalisa ulang.

Poin berikutnya yang perlu dikritisi adalah masalah penjabaran dari filosofi didaktik dalam proses pendidikan. Dalam artikelnya penulis mengatakan bahwa filosofi guru-murid yang berimplikasi pada proses pembelajaran frontal (menurut pengertian saya) adalah merupakan filosofi pendidikan timur. Sejauh yang saya pelajari, filosofi didaktik semacam ini bukan hasil cetakan suatu mazhab, barat atau timur, tetapi kita disini lebih bicara dalam tataran konservatif vs. modern. Jadi di negara-negara barat pun konsep frontal guru-murid ini pernah dan/atau sampai sekarang masih diterapkan oleh sebagian pendidik (berdasarkan pengamatan empiris saya di beberapa sekolah di Jerman). Sementara konsep yang digambarkan penulis sebagai konsep I message di Ausi itu merupakan konsep hasil reformasi dari konsep konservatif sebelumnya. Jadi sekali lagi dalam hal ini tidak ada dikotomi Barat-Timur.
Kemudian dalam memahami konsep I message, memang sudah merupakan karakternya bahwa murid memiliki otonomi atau sebagai subjek dalam proses pembelajaran. Akan tetapi otonomi itupun menurut saya terbatas. Kurang benar kiranya apabila murid berdasarkan konsep ini memiliki otonomi full dalam menentukan sendiri apa-apa yang mau dipelajari atau dengan kata lain menentukan semua bahan ajar, karena dengan demikian, tujuan dari dan isi dari kurikulum yang oleh si guru dijadikan sebagai pedoman penyelengaraan proses belajar-mengajar tidaklah berarti lagi. Sejauh yang saya pelajari, dalam konsep ini memang murid dilibatkan dalam proses perencanaan belajar-mengajar, dimana sang murid diminta pendapatnya dalam menentukan tema yang akan dijadikan bahan ajar. Tapi hal itu terjadi setelah sang guru menetapkan kerangka dasarnya yang tidak boleh dilabrak oleh siswa. Tujuan dari hal tersebut tiada lain untuk mengakomodasi minat kebanyakan murid terhadap sebuah tema misalnya, sehingga pembelajaran tidak boring.

Menanggapi tentang perilaku siswa-siswa di barat yang lebih berani dalam adu argumen atau lebih spontan dalam mengajukan pertanyaan kepada sang pengajar, menurut saya memang ini adalah hal yang positif, tapi tidak sepenuhnya. Hal tersebut harus kita lihat secara kontekstual. Misalnya dalam konteks budaya pola hubungan interpersonal dalam masyarakat. Sebagai contoh saya suka memperhatikan orang-orang dari negara-negara non barat pada saat seminar, seperti Jepang, China, Korea dan juga Indonesia. Kebanyakan dari mereka memang tidak begitu vokal dalam hal berdebat, tapi banyak dari mereka yang sangat berkualitas pemikirannya ketika ditanya pendapatnya. Lain halnya dengan sebagian orang dari barat, atau kebanyakan orang dari negara-negara Afrika, atau Rusia misalnya (maaf bukan rasis, ini hanya hasil pengamatan pribadi saja) banyak dari mereka yang bersitegang dan spontan mempertahankan pendapatnya demi ego mereka, walaupun isinya seringkali ngawur. So hal seperti ini sekali lagi sifanya sangat kontekstual. Kemampuan berfikir liberal yang direpresentasikan dengan spontanitas bertanya di forum belum merupakan indikator dari kualitas sebuah konsep pendidikan.
Hal lain, adalah merupakan sebuah ekses dari pola pemikiran liberal di barat bahwa banyak sekali sekolah-sekolah di negara barat (contohnya yang saya alami di Jerman) menghadapi suatu masalah kedisiplinan serius dengan para siswanya. Dapat kita bayangkan apabila ada murid yang memukul-mukul meja pada saat guru menerangkan, atau bahkan murid yang mendorong guru perempuannya karena dia diperingatkan untuk tidak telat masuk. Ini benar-benar terjadi di depan mata kepala saya.

Sikap-sikap lain yang lebih parah menurut kaca mata saya sebagai orang timur adalah sikap mereka terahadap orang tua sebagai bentukan dari pola pendidikan mereka. Kita yang pernah hidup di negara barat pasti tahu bagaimana liberalnya para anak barat bersikap terhadap orang tuanya. Buat mereka orang tua adalah beban hidup, sehingga panti jompolah tempat yang paling tepat buat para orang tua mereka menghabiskan masa tuanya. Pertanyaannya: sisi afeksi beginikah yang kita inginkan sebagai hasil dari sebuah konsep dan filosofi pendidikan (di barat)??
Kondisi semacam ini menurut saya terjadi akibat terlalu disuntikannya atau diagungkannya nilai-nilai liberal dan demokrasi ala barat kepada system pendidikan dasar mereka. Sebagai akibatnya guru sebagai pengajar dan pendidik jadi “ditelanjangi” otoritasnya dalam membentuk individu yang punya rasa hormat terhadap guru dan orang tua. Alhamdulillah fenomena sosial semacam ini masih merupakan hal yang sangat tabu di kultur kita.

Dengan pemaparan singkat diatas saya ingin menyampaikan bahwa tidak ada satu pun konsep pendidikan di dunia ini yang benar-benar sempurna dan berlaku general dalam mencetak manusia berkualitas, walaupun itu konsep filosofi pendidikan barat sekali pun. Justru sebaliknya dalam kasus Indonesia; dunia pendidikan kita menjadi amburadul sebagian akibat dari kebijakan publik dalam bidang pendidikan yang kurang cerdas; yaitu seringnya para politisi kita di Depdiknas dengan gampangnya mengadopsi kurikulum dan konsep pendidikan dari barat tanpa adanya analisa yang komprehensif terhadap semua potensi, situasi dan kondisi bangsa dan budaya sendiri. Di bidang pendidikan saja, sejak era pelita satu, jaman Orba sampai sekarang sudah terjadi lebih dari 10 kali konsep kurikulum kita diganti. Yang terahir adalah KBK dan KTSP yang pengembangannya didanai oleh bantuan utang Australia. Walhasil pendidikan tambah semrawut gak puguh tujuan.

Sebagai penutup, kalau kita bertanya mau dibawa kemana konsep pendidikan kita? Jawabannya menurut saya kita harus merujuk konsep atau gerakan yang dalam bahasa sundanya “Indigenization” alias to transform things to fit the local culture (Wikipedia). Jadi kita harus mengadopsi konsep pendidikan modern yang “meng-Indonesia” .
Inilah trend yang sedang terjadi di negara2 yang menggeliat maju: Cina, Korea, Malaysia, Jepang, Singapura, India dll. So istilah kebarat-baratan dalam pengembangan pendidikan tidaklah harus dipertahankan… ..

Dikirim oleh
Dadang Kurnia
Institut für Berufspädagogik
Fakultät Erziehungswissensch aften
TU Dresden - Germany

Lima Hal Positif Posisi Orang Tua

Kiriman
Putri Amalia Siregar

1. Boleh saja berbeda
semua anak itu unik, mereka mempunyai bakat2, tantangan dan kebutuhan2 yang
berbeda, tugas kita sebagai orang tua adalah mengenali semua itu dan
merawatnya, anak kita mungkin pintar pada bidang tertentu dan lebih lamban
pada bidang lainnya, atatu mungkin dia tidak menunjukkan adanya kemajuan
sampai dia melompat jauh ke depan pada suatu hari. Anak-anak tumbuh dengan
kecepatan tersendiri dan kita perlu mendorongnya tanpa terus menerus
mengukurnya atau membandingkannya dengan anak yang lain.

2. Boleh saja berbuat salah
Setiap orang pasti pernah sesekali tergelincir, itu hal yang normal dan
wajar, jika anda bereaksi berlebihan, anak akan merasa adasesuatu yang tidak
beres dalam dirinya. Cara terbaik untuk mengajar anak bahwa berbuat salah
itu boleh ataau bisa saja terjadi adalah dengan mengakui kesalahan-kesalahan
kita sendiri.

3.Boleh saja merasakan emosi-emosi negatif
Rasa marah, sedih, takut, menderita frustasi kecewa, cemas, malu, cemburu,
sakit hati, atau tidk aman bukan hanya alami dan normal, tapi merupakan
bagian penting dari pertumbuhan, anak-anak pperlu mengungkapkan rangkaian
emosinya, sehingga tidak dikuasai emosinya.

4. Boleh saja menginginkan lebih
sering anak mendapatkan pesan bahwamereka salah, mementingkan diri sendiri,
atau manja jika meminta lebih atau karena marah jika merekatidak mendapatkan
apa yang mereka inginkan. Orang tu yang positif berarti mengajari
anak-anaknyacara memeinta yang mereka inginkan dengan tetap menghormati
oarng lain.

5. Boleh saja anak berkata tidak sejauh ayah ibu tetap menjadi Bosnya
Mendapatkan izin untuk berkata tidak benar-benar memberi kekuatan kepada
anak, banyak orang tua yang cemas; memberikan anak terlalu banyak kekuatan
akan memanjakannya, mengizikan anak berkata tidak membuka pintu kepadanya
untuk mengekspresikan perasaan2nya, jika anak tidak mempunyai rasa identitas
diri yang kuat, anak akan mudah menjadi korban penipuan atau tindakan
kekerasan, bahkan mungkin anak akan tertarik pada hubungan kekerasan karena
merasa dirinya tidak berharga.

(taken fr John Gray -Positive Parenting Skill for Creating Cooperation,
Confidence and Compassion)
--
RAHMADSYAH
Practitioner NLP I 081511448147 I Motivator & Trauma Therapist

Friday, 8 May 2009

Kemitraan Sekolah dengan Australia dan Korea

Sumber : Klub Guru Indonesia

Hi all,

SEAMOLEC bekerja sama dengan KBRI untuk Australia di Canberra akan
mengadakan program kemitraan sekolah Indonesia dengan sekolah di Australia.
Terlampir informasi dan jadwal tentatifnya. Apabila tertarik, mohon segera
kirim profil sekolah sesuai format terlampir.

Bu Ernest di Dinas Pendidikan Jawa Tengah dan bu Anas di Dinas Pendidikan
Jawa Timur, mohon bantuannya menyebarkan informasi ini ke sekolah.

Kesempatan ini terbuka untuk SD, SMP, SMA dan SMK (2 sekolah saja untuk SMK,
sesuai informasi dari KBRI di Australia).

Untuk Korea, bentuk kegiatannya kurang lebih sama, dan dijadwalkan bulan
July atau Agustus 2009.

Salam,

*Mangasa Aritonang*
Training Manager
SEAMOLEC

Info SEADUNET-Korea

Dear Sir/Madam,

Thank you very much for your reply. Yes, it is true that SEAMOLEC and KFTA
will be mediating Indonesian and Korean schools for the partnership. It
would be better if we start at high school level as students at this level
are more competent for collaboration and communication. I wonder if you
could also arrange for vocational schools partnership, if available.

We have some list of schools ready for the partnership. Mostly are from big
cities like Jakarta, Surabaya, Semarang and Jogjakarta, and other areas as
well. To match the participating schools, we need to collect the profiles of
school, and let them communicate by email first. All email communication
should be cc-ed to us.

The partnership is not necessarily focusing on ICT education, but could also
be for language, culture, values or other subject matters, like Mathematics
or Science. ICT is only the tools for communication.

After we get the schools matched, then we will take the Indonesian
principals to come and visit the Korean principals. We can conduct a meeting
there to discuss the forms of collaboration and the draft of MoU for them to
sign. Indonesian principals will cover their own transportation,
accommodation and meals. It would be great if you could recommend an
affordable place for us to stay in.

I will also try to request Indonesian embassy in Seoul to assist us in this
program. When do you think we could start this program? July or August? I'll
send you the list of Indonesian schools as soon as possible.

Best regards,

Mangasa Aritonang
SEAMOLEC