Date: Wed, 13 May 2009 17:06:07 +0800
To:
Subject: Info School Partnership dari Davao City, Philippines
Blog "MaTIKaku - MatemaTIKa - ku" disusun untuk turut serta dalam mengembangkan matematika dengan memanfaatkan TIK untuk siswa SMA khususnya dan masyarakat pemerhati pendidikan di Indonesia pada umumnya.
http://www.1000guru .net/htmls/ articles/ 1KG-QuoVadisPend Ind.html Artikel berjudul “What I've learned from Australia” tulisan Sdri. Zubeth sangat menarik untuk dibaca. Saya dapat menggambarkan artikel tersebut (dengan kata-kata saya sendiri) sebagai motivated-critical. Kenapa dikatakan motivated, karena tujuan utama dari artikel ini secara global (mudah2an saya gak salah mengerti) adalah mengajak dan mengajukan suatu alternatif untuk perubahan terhadap pola pendidikan Indonesia melalui pemaparan sebuah konsep pendidikan dan pengajaran ala barat yang penulis pelajari di negeri nun jauh disana yang bernama Australia. Jadi dengan demikian sangat positif dan motivated. Selanjutnya kenapa artikel itu saya kategorikan critical, karena alasannya menurut saya sebagai berikut: Sistem pendidikan dalam sebuah negara itu merupakan satu subsistem yang eksistensi dan keberlangsungannya sangat ditopang atau tergantung dari sub sistem lain di masyarakat yang tidak kalah pentingnya, yaitu subsistem politik dan subsistem ekonomi (Fend, 1999). Ketiga subsistem tersebut membentuk sebuah sistem segitiga yang setiap sudutnya menentukan eksistensi sudut yang lain. Jadi kalau kita bicara masalah kualitas pendidikan suatu negara, sebaiknya kita menerapkan pola analisa yang multidimensional dengan memperhatikan berbagai faktor yang terdapat dalam ketiga subsistem tersebut. Dengan demikian apabila penulis hanya menjadikan filosofis pendidikan barat misalnya, sebagai hal yang mendasari keberhasilan konsep pendidikan barat sehingga output pendidikannya superior maka menurut saya itu patut dikritisi. Kenapa demikian? mari kita lihat fakta berikut: Apabila dikotomi filosofi pendidikan Barat-Timur yang menjadi faktor penentu superioritas pendidikan barat dalam mencetak manusia cerdas dan pintar, justru hasil dari Programme for International Student Assessment (PISA-Study) 2003 dan 2006 menunjukan hal yang kurang sesuai. Berdasarkan studi tersebut, lulusan sekolah terbaik di dunia itu justru berada di benua timur, yaitu Korea Selatan. Dengan skor rata-rata 550, anak sekolah di Korea ini berhasil mengungguli Finlandia (dengan skor rata-rata 548) yang merupakan negara terunggul sistem pendidikannya diantara negara-negara Eropa atau barat. Demikian pula dengan Jepang; berdasarkan hasil studi ini, negri sakura ini yang juga di wilayah bagian timur juga berhasil mengungguli Australia sekali pun dalam masalah mencetak manusia berkualitas. Bukti lain adalah kemajuan negara lain di asia seperti Cina, dan negara tetanggga kita Malaysia. Konsep pendidikan di negara2 tersebut dalam waktu singkat berhasil meningkat secara melejit. Dengan SDM dan SDA yang ada Cina dalam tempo yang super cepat mampu merajai perekonomian dunia. Untuk mencapai hal tersebut tentu saja sistem pendidikan Cina dengan konsep pendidikan mereka yang berfilosofiskan ketimuran banyak berperan. Poin berikutnya yang perlu dikritisi adalah masalah penjabaran dari filosofi didaktik dalam proses pendidikan. Dalam artikelnya penulis mengatakan bahwa filosofi guru-murid yang berimplikasi pada proses pembelajaran frontal (menurut pengertian saya) adalah merupakan filosofi pendidikan timur. Sejauh yang saya pelajari, filosofi didaktik semacam ini bukan hasil cetakan suatu mazhab, barat atau timur, tetapi kita disini lebih bicara dalam tataran konservatif vs. modern. Jadi di negara-negara barat pun konsep frontal guru-murid ini pernah dan/atau sampai sekarang masih diterapkan oleh sebagian pendidik (berdasarkan pengamatan empiris saya di beberapa sekolah di Jerman). Sementara konsep yang digambarkan penulis sebagai konsep I message di Ausi itu merupakan konsep hasil reformasi dari konsep konservatif sebelumnya. Jadi sekali lagi dalam hal ini tidak ada dikotomi Barat-Timur. Menanggapi tentang perilaku siswa-siswa di barat yang lebih berani dalam adu argumen atau lebih spontan dalam mengajukan pertanyaan kepada sang pengajar, menurut saya memang ini adalah hal yang positif, tapi tidak sepenuhnya. Hal tersebut harus kita lihat secara kontekstual. Misalnya dalam konteks budaya pola hubungan interpersonal dalam masyarakat. Sebagai contoh saya suka memperhatikan orang-orang dari negara-negara non barat pada saat seminar, seperti Jepang, China, Korea dan juga Indonesia. Kebanyakan dari mereka memang tidak begitu vokal dalam hal berdebat, tapi banyak dari mereka yang sangat berkualitas pemikirannya ketika ditanya pendapatnya. Lain halnya dengan sebagian orang dari barat, atau kebanyakan orang dari negara-negara Afrika, atau Rusia misalnya (maaf bukan rasis, ini hanya hasil pengamatan pribadi saja) banyak dari mereka yang bersitegang dan spontan mempertahankan pendapatnya demi ego mereka, walaupun isinya seringkali ngawur. So hal seperti ini sekali lagi sifanya sangat kontekstual. Kemampuan berfikir liberal yang direpresentasikan dengan spontanitas bertanya di forum belum merupakan indikator dari kualitas sebuah konsep pendidikan. Sikap-sikap lain yang lebih parah menurut kaca mata saya sebagai orang timur adalah sikap mereka terahadap orang tua sebagai bentukan dari pola pendidikan mereka. Kita yang pernah hidup di negara barat pasti tahu bagaimana liberalnya para anak barat bersikap terhadap orang tuanya. Buat mereka orang tua adalah beban hidup, sehingga panti jompolah tempat yang paling tepat buat para orang tua mereka menghabiskan masa tuanya. Pertanyaannya: sisi afeksi beginikah yang kita inginkan sebagai hasil dari sebuah konsep dan filosofi pendidikan (di barat)?? Dengan pemaparan singkat diatas saya ingin menyampaikan bahwa tidak ada satu pun konsep pendidikan di dunia ini yang benar-benar sempurna dan berlaku general dalam mencetak manusia berkualitas, walaupun itu konsep filosofi pendidikan barat sekali pun. Justru sebaliknya dalam kasus Indonesia; dunia pendidikan kita menjadi amburadul sebagian akibat dari kebijakan publik dalam bidang pendidikan yang kurang cerdas; yaitu seringnya para politisi kita di Depdiknas dengan gampangnya mengadopsi kurikulum dan konsep pendidikan dari barat tanpa adanya analisa yang komprehensif terhadap semua potensi, situasi dan kondisi bangsa dan budaya sendiri. Di bidang pendidikan saja, sejak era pelita satu, jaman Orba sampai sekarang sudah terjadi lebih dari 10 kali konsep kurikulum kita diganti. Yang terahir adalah KBK dan KTSP yang pengembangannya didanai oleh bantuan utang Australia. Walhasil pendidikan tambah semrawut gak puguh tujuan. Sebagai penutup, kalau kita bertanya mau dibawa kemana konsep pendidikan kita? Jawabannya menurut saya kita harus merujuk konsep atau gerakan yang dalam bahasa sundanya “Indigenization” alias to transform things to fit the local culture (Wikipedia). Jadi kita harus mengadopsi konsep pendidikan modern yang “meng-Indonesia” .
Dikirim oleh
|