Saturday, 9 May 2009

Hasil Belajar di Australia

Dari : Dhitta Puti Sarasvati


http://www.1000guru .net/htmls/ articles/ 1KG-QuoVadisPend Ind.html

Artikel berjudul “What I've learned from Australia” tulisan Sdri. Zubeth sangat menarik untuk dibaca. Saya dapat menggambarkan artikel tersebut (dengan kata-kata saya sendiri) sebagai motivated-critical. Kenapa dikatakan motivated, karena tujuan utama dari artikel ini secara global (mudah2an saya gak salah mengerti) adalah mengajak dan mengajukan suatu alternatif untuk perubahan terhadap pola pendidikan Indonesia melalui pemaparan sebuah konsep pendidikan dan pengajaran ala barat yang penulis pelajari di negeri nun jauh disana yang bernama Australia. Jadi dengan demikian sangat positif dan motivated.

Selanjutnya kenapa artikel itu saya kategorikan critical, karena alasannya menurut saya sebagai berikut:

Sistem pendidikan dalam sebuah negara itu merupakan satu subsistem yang eksistensi dan keberlangsungannya sangat ditopang atau tergantung dari sub sistem lain di masyarakat yang tidak kalah pentingnya, yaitu subsistem politik dan subsistem ekonomi (Fend, 1999). Ketiga subsistem tersebut membentuk sebuah sistem segitiga yang setiap sudutnya menentukan eksistensi sudut yang lain.

Jadi kalau kita bicara masalah kualitas pendidikan suatu negara, sebaiknya kita menerapkan pola analisa yang multidimensional dengan memperhatikan berbagai faktor yang terdapat dalam ketiga subsistem tersebut. Dengan demikian apabila penulis hanya menjadikan filosofis pendidikan barat misalnya, sebagai hal yang mendasari keberhasilan konsep pendidikan barat sehingga output pendidikannya superior maka menurut saya itu patut dikritisi. Kenapa demikian? mari kita lihat fakta berikut:

Apabila dikotomi filosofi pendidikan Barat-Timur yang menjadi faktor penentu superioritas pendidikan barat dalam mencetak manusia cerdas dan pintar, justru hasil dari Programme for International Student Assessment (PISA-Study) 2003 dan 2006 menunjukan hal yang kurang sesuai. Berdasarkan studi tersebut, lulusan sekolah terbaik di dunia itu justru berada di benua timur, yaitu Korea Selatan. Dengan skor rata-rata 550, anak sekolah di Korea ini berhasil mengungguli Finlandia (dengan skor rata-rata 548) yang merupakan negara terunggul sistem pendidikannya diantara negara-negara Eropa atau barat. Demikian pula dengan Jepang; berdasarkan hasil studi ini, negri sakura ini yang juga di wilayah bagian timur juga berhasil mengungguli Australia sekali pun dalam masalah mencetak manusia berkualitas.

Bukti lain adalah kemajuan negara lain di asia seperti Cina, dan negara tetanggga kita Malaysia. Konsep pendidikan di negara2 tersebut dalam waktu singkat berhasil meningkat secara melejit. Dengan SDM dan SDA yang ada Cina dalam tempo yang super cepat mampu merajai perekonomian dunia. Untuk mencapai hal tersebut tentu saja sistem pendidikan Cina dengan konsep pendidikan mereka yang berfilosofiskan ketimuran banyak berperan.
Bukti lain lagi, kalau kita mau romantisme historis, pendidikan di negara kita pada dekade 60 -80an. Pada masa tersebut pendidikan kita pernah sedemikian baiknya dalam mencetak manusia-manusia pintar, sehingga pada waktu tersebut banyak negara tetangga yang mengirimkan mahasiswanya untuk menimba ilmu di negara kita tercinta ini. Contoh lainnya lagi adalah Rusia; dengan segala konsep pendidikanya yang serba sentralistik dan serba diatur oleh sistem pemerintahan komunis yang tentunya anti dari nilai2 pendidikan demokratis ala barat, ternyata negara tersebut berhasil menjadikan negaranya sebagai negara adidaya tandingan USA sampai sekarang. Kepala-kepala jenius pun telah banyak dilahirkan di negara tersebut.
So, berdasarkan fakta2 tersebut, dikotomi Barat-Timur dalam hal konsep dan filosofi pendidikan perlu dianalisa ulang.

Poin berikutnya yang perlu dikritisi adalah masalah penjabaran dari filosofi didaktik dalam proses pendidikan. Dalam artikelnya penulis mengatakan bahwa filosofi guru-murid yang berimplikasi pada proses pembelajaran frontal (menurut pengertian saya) adalah merupakan filosofi pendidikan timur. Sejauh yang saya pelajari, filosofi didaktik semacam ini bukan hasil cetakan suatu mazhab, barat atau timur, tetapi kita disini lebih bicara dalam tataran konservatif vs. modern. Jadi di negara-negara barat pun konsep frontal guru-murid ini pernah dan/atau sampai sekarang masih diterapkan oleh sebagian pendidik (berdasarkan pengamatan empiris saya di beberapa sekolah di Jerman). Sementara konsep yang digambarkan penulis sebagai konsep I message di Ausi itu merupakan konsep hasil reformasi dari konsep konservatif sebelumnya. Jadi sekali lagi dalam hal ini tidak ada dikotomi Barat-Timur.
Kemudian dalam memahami konsep I message, memang sudah merupakan karakternya bahwa murid memiliki otonomi atau sebagai subjek dalam proses pembelajaran. Akan tetapi otonomi itupun menurut saya terbatas. Kurang benar kiranya apabila murid berdasarkan konsep ini memiliki otonomi full dalam menentukan sendiri apa-apa yang mau dipelajari atau dengan kata lain menentukan semua bahan ajar, karena dengan demikian, tujuan dari dan isi dari kurikulum yang oleh si guru dijadikan sebagai pedoman penyelengaraan proses belajar-mengajar tidaklah berarti lagi. Sejauh yang saya pelajari, dalam konsep ini memang murid dilibatkan dalam proses perencanaan belajar-mengajar, dimana sang murid diminta pendapatnya dalam menentukan tema yang akan dijadikan bahan ajar. Tapi hal itu terjadi setelah sang guru menetapkan kerangka dasarnya yang tidak boleh dilabrak oleh siswa. Tujuan dari hal tersebut tiada lain untuk mengakomodasi minat kebanyakan murid terhadap sebuah tema misalnya, sehingga pembelajaran tidak boring.

Menanggapi tentang perilaku siswa-siswa di barat yang lebih berani dalam adu argumen atau lebih spontan dalam mengajukan pertanyaan kepada sang pengajar, menurut saya memang ini adalah hal yang positif, tapi tidak sepenuhnya. Hal tersebut harus kita lihat secara kontekstual. Misalnya dalam konteks budaya pola hubungan interpersonal dalam masyarakat. Sebagai contoh saya suka memperhatikan orang-orang dari negara-negara non barat pada saat seminar, seperti Jepang, China, Korea dan juga Indonesia. Kebanyakan dari mereka memang tidak begitu vokal dalam hal berdebat, tapi banyak dari mereka yang sangat berkualitas pemikirannya ketika ditanya pendapatnya. Lain halnya dengan sebagian orang dari barat, atau kebanyakan orang dari negara-negara Afrika, atau Rusia misalnya (maaf bukan rasis, ini hanya hasil pengamatan pribadi saja) banyak dari mereka yang bersitegang dan spontan mempertahankan pendapatnya demi ego mereka, walaupun isinya seringkali ngawur. So hal seperti ini sekali lagi sifanya sangat kontekstual. Kemampuan berfikir liberal yang direpresentasikan dengan spontanitas bertanya di forum belum merupakan indikator dari kualitas sebuah konsep pendidikan.
Hal lain, adalah merupakan sebuah ekses dari pola pemikiran liberal di barat bahwa banyak sekali sekolah-sekolah di negara barat (contohnya yang saya alami di Jerman) menghadapi suatu masalah kedisiplinan serius dengan para siswanya. Dapat kita bayangkan apabila ada murid yang memukul-mukul meja pada saat guru menerangkan, atau bahkan murid yang mendorong guru perempuannya karena dia diperingatkan untuk tidak telat masuk. Ini benar-benar terjadi di depan mata kepala saya.

Sikap-sikap lain yang lebih parah menurut kaca mata saya sebagai orang timur adalah sikap mereka terahadap orang tua sebagai bentukan dari pola pendidikan mereka. Kita yang pernah hidup di negara barat pasti tahu bagaimana liberalnya para anak barat bersikap terhadap orang tuanya. Buat mereka orang tua adalah beban hidup, sehingga panti jompolah tempat yang paling tepat buat para orang tua mereka menghabiskan masa tuanya. Pertanyaannya: sisi afeksi beginikah yang kita inginkan sebagai hasil dari sebuah konsep dan filosofi pendidikan (di barat)??
Kondisi semacam ini menurut saya terjadi akibat terlalu disuntikannya atau diagungkannya nilai-nilai liberal dan demokrasi ala barat kepada system pendidikan dasar mereka. Sebagai akibatnya guru sebagai pengajar dan pendidik jadi “ditelanjangi” otoritasnya dalam membentuk individu yang punya rasa hormat terhadap guru dan orang tua. Alhamdulillah fenomena sosial semacam ini masih merupakan hal yang sangat tabu di kultur kita.

Dengan pemaparan singkat diatas saya ingin menyampaikan bahwa tidak ada satu pun konsep pendidikan di dunia ini yang benar-benar sempurna dan berlaku general dalam mencetak manusia berkualitas, walaupun itu konsep filosofi pendidikan barat sekali pun. Justru sebaliknya dalam kasus Indonesia; dunia pendidikan kita menjadi amburadul sebagian akibat dari kebijakan publik dalam bidang pendidikan yang kurang cerdas; yaitu seringnya para politisi kita di Depdiknas dengan gampangnya mengadopsi kurikulum dan konsep pendidikan dari barat tanpa adanya analisa yang komprehensif terhadap semua potensi, situasi dan kondisi bangsa dan budaya sendiri. Di bidang pendidikan saja, sejak era pelita satu, jaman Orba sampai sekarang sudah terjadi lebih dari 10 kali konsep kurikulum kita diganti. Yang terahir adalah KBK dan KTSP yang pengembangannya didanai oleh bantuan utang Australia. Walhasil pendidikan tambah semrawut gak puguh tujuan.

Sebagai penutup, kalau kita bertanya mau dibawa kemana konsep pendidikan kita? Jawabannya menurut saya kita harus merujuk konsep atau gerakan yang dalam bahasa sundanya “Indigenization” alias to transform things to fit the local culture (Wikipedia). Jadi kita harus mengadopsi konsep pendidikan modern yang “meng-Indonesia” .
Inilah trend yang sedang terjadi di negara2 yang menggeliat maju: Cina, Korea, Malaysia, Jepang, Singapura, India dll. So istilah kebarat-baratan dalam pengembangan pendidikan tidaklah harus dipertahankan… ..

Dikirim oleh
Dadang Kurnia
Institut für Berufspädagogik
Fakultät Erziehungswissensch aften
TU Dresden - Germany

No comments: